@salimafillah
Selalu ada waktu yang harus terluang untuk keluarga, yang tentang mereka Allah akan mempertanyakan kepemimpinan dan bimbingan kita. Waktu yang bermutu mensyaratkan jumlah tertentu yang harus disediakan demi menyusun rasa-rasa surga di dalam rumah dan keluarga. Betapa penting ini menjadi catatan, sebab telah tertulis amanah berat di dalam firmanNya:
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” (QS At-Tahriim [66]: 6)
Hikmah dan nasehat, kabar gembira dan teguran, teladan dan pengarahan, serta kebijaksanaan dan ketulusan, pertama-tama menjadi hak mereka sebelum siapapun yang selainnya. Maka dalam tugas dakwah awalnya pun Sang Nabi diberi perintah untuk memberikan peringatan kepada handai taulannya yang terkarib.
Keluarga dan tetangga adalah juga penyeksama terdekat dan pengamat paling jeli atas diri. Semua kesaksian mereka tentang kita sebagai bapak dan suami akan lebih berharga dari siapapun di luar sana yang hanya pengagum sekilas dalam puja dan puji. Maka tentang ini Rasulullah bersabda bahwa yang terbaik di antara para lelaki adalah yang paling baik dalam perlakuannya kepada istri dan keluarganya sendiri.
Sungguh istri dan anak adalah kesenangan hidup di dunia. Maka yang menjadi tugas hidup kita adalah mengupayakan agar kelak berkumpul kembali, bahagia di surga yang abadi.
Sungguh istri dan anak adalah titipan amanahNya. Maka kita juga ditugaskan menjaga, agar kelak saat dikembalikan, mereka sesuai dengan keadaan awalnya, yakni berada di atas fitrah sucinya.
Sungguh istri dan anak termasuk karunia paling berharga dariNya. Sudahkah tertunjukkan rasa syukur atas kehadiran mereka; di lembutnya kata dan syahdunya mesra?
Sungguh istri dan anak adalah juga fitnah dan ujian yang nyata. Dalam membersamai dan menyenangkan, akan selalu ada pergulatan antara hasrat dengan keterbatasan, keinginan dan pemahaman, cinta dan peraturan, serta hawa nafsu dan bimbingan. Di sanalah ketaatan pada Allah diguncang dan kesetiaan pada Rabb kita ‘Azza wa Jalla dicoba.
Bahagialah suami dan ayah; yang memastikan tiap suapan ke mulut istri-anak dan segala yang dikenakan, halal dan thayyib tak meragukan.
Bahagialah suami dan ayah; yang membimbing istri dan anak mengulang hafalan, mentadaburi Al-Qur`an, mengisah penuh cinta sirah Nabi dan kisah sahabat.
Berbahagialah suami dan ayah yang khusyuk menangis mendoakan keselamatan, keberkahan, serta kebaikan anak-istri dan segenap keturunan.
Bahagialah suami dan ayah; yang mengecup dengan doa perlindungan dan cinta saat istri-anaknya lelap tidur, demikian pula saat berpamit bepergian.
Berbahagialah suami dan ayah; yang bersyukur dan mentakjubi kemajuan istri dan anak dalam berkebaikan, lalu menghadirkan peluk, doa, serta hadiah sederhana.
Bahagialah suami dan ayah yang jadi kebanggaan anak-istrinya; tapi tak menumpulkan pengembangan diri mereka dalam hidup berbakti.
Tanggung jawab suami dan ayah demikian agung. Seakan saat istri dinikahi dan anak dilahirkan, mereka bertitah tegas, “Bawalah kami ke surga!”
Bahwa ada kisah Nuh dengan istri dan anak yang durhaka, itu penyadar bahwa suami dan ayah memang tiada punya kuasa atas jiwa yang dicinta. Bahwa hidayah bukan hak ayah dan suami, hatta pun dia seorang Nabi. Hanya Allah yang Maha Kuasa untuk membolak-balikkan hati. Yang kita pertanggungjawabkan memang hanya ikhtiyar kita, bukan hasilnya. Tetapi jadi naiflah ayah dan suami yang berlindung di balik nama agung Nuh dan Luth misalnya, tanpa upaya meluangkan saat berharga untuk keluarga.
Pun para istri; agunglah mereka dalam perjuangannya untuk menjadi apa yang ditaujihkan Al-Qur`an; Shalihat, Qanitat, Hafizhat. Bagi suami; mereka adalah penggenap separuh agama, penjaga ketaatan, tempat berlari dari yang haram dan keji menuju yang berkah lagi suci. Maka para istri itu tahu; untuk siapa mereka berdandan dan mempercantik diri; tersenyum dan penuh pemuliaan menyambut kepulangan.
Pada cium tangan penuh ta’zhim dan air mata yang haru, bisik mereka mesra, “Berangkatlah menjemput rizqi Allah suamiku tersayang; ketahuilah bahwa kami lebih sabar dalam berlapar daripada harus menanggung ‘adzab yang besar!”
Sumber : FB Salim Afilah
Selalu ada waktu yang harus terluang untuk keluarga, yang tentang mereka Allah akan mempertanyakan kepemimpinan dan bimbingan kita. Waktu yang bermutu mensyaratkan jumlah tertentu yang harus disediakan demi menyusun rasa-rasa surga di dalam rumah dan keluarga. Betapa penting ini menjadi catatan, sebab telah tertulis amanah berat di dalam firmanNya:
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” (QS At-Tahriim [66]: 6)
Hikmah dan nasehat, kabar gembira dan teguran, teladan dan pengarahan, serta kebijaksanaan dan ketulusan, pertama-tama menjadi hak mereka sebelum siapapun yang selainnya. Maka dalam tugas dakwah awalnya pun Sang Nabi diberi perintah untuk memberikan peringatan kepada handai taulannya yang terkarib.
Keluarga dan tetangga adalah juga penyeksama terdekat dan pengamat paling jeli atas diri. Semua kesaksian mereka tentang kita sebagai bapak dan suami akan lebih berharga dari siapapun di luar sana yang hanya pengagum sekilas dalam puja dan puji. Maka tentang ini Rasulullah bersabda bahwa yang terbaik di antara para lelaki adalah yang paling baik dalam perlakuannya kepada istri dan keluarganya sendiri.
Sungguh istri dan anak adalah kesenangan hidup di dunia. Maka yang menjadi tugas hidup kita adalah mengupayakan agar kelak berkumpul kembali, bahagia di surga yang abadi.
Sungguh istri dan anak adalah titipan amanahNya. Maka kita juga ditugaskan menjaga, agar kelak saat dikembalikan, mereka sesuai dengan keadaan awalnya, yakni berada di atas fitrah sucinya.
Sungguh istri dan anak termasuk karunia paling berharga dariNya. Sudahkah tertunjukkan rasa syukur atas kehadiran mereka; di lembutnya kata dan syahdunya mesra?
Sungguh istri dan anak adalah juga fitnah dan ujian yang nyata. Dalam membersamai dan menyenangkan, akan selalu ada pergulatan antara hasrat dengan keterbatasan, keinginan dan pemahaman, cinta dan peraturan, serta hawa nafsu dan bimbingan. Di sanalah ketaatan pada Allah diguncang dan kesetiaan pada Rabb kita ‘Azza wa Jalla dicoba.
Bahagialah suami dan ayah; yang memastikan tiap suapan ke mulut istri-anak dan segala yang dikenakan, halal dan thayyib tak meragukan.
Bahagialah suami dan ayah; yang membimbing istri dan anak mengulang hafalan, mentadaburi Al-Qur`an, mengisah penuh cinta sirah Nabi dan kisah sahabat.
Berbahagialah suami dan ayah yang khusyuk menangis mendoakan keselamatan, keberkahan, serta kebaikan anak-istri dan segenap keturunan.
Bahagialah suami dan ayah; yang mengecup dengan doa perlindungan dan cinta saat istri-anaknya lelap tidur, demikian pula saat berpamit bepergian.
Berbahagialah suami dan ayah; yang bersyukur dan mentakjubi kemajuan istri dan anak dalam berkebaikan, lalu menghadirkan peluk, doa, serta hadiah sederhana.
Bahagialah suami dan ayah yang jadi kebanggaan anak-istrinya; tapi tak menumpulkan pengembangan diri mereka dalam hidup berbakti.
Tanggung jawab suami dan ayah demikian agung. Seakan saat istri dinikahi dan anak dilahirkan, mereka bertitah tegas, “Bawalah kami ke surga!”
Bahwa ada kisah Nuh dengan istri dan anak yang durhaka, itu penyadar bahwa suami dan ayah memang tiada punya kuasa atas jiwa yang dicinta. Bahwa hidayah bukan hak ayah dan suami, hatta pun dia seorang Nabi. Hanya Allah yang Maha Kuasa untuk membolak-balikkan hati. Yang kita pertanggungjawabkan memang hanya ikhtiyar kita, bukan hasilnya. Tetapi jadi naiflah ayah dan suami yang berlindung di balik nama agung Nuh dan Luth misalnya, tanpa upaya meluangkan saat berharga untuk keluarga.
Pun para istri; agunglah mereka dalam perjuangannya untuk menjadi apa yang ditaujihkan Al-Qur`an; Shalihat, Qanitat, Hafizhat. Bagi suami; mereka adalah penggenap separuh agama, penjaga ketaatan, tempat berlari dari yang haram dan keji menuju yang berkah lagi suci. Maka para istri itu tahu; untuk siapa mereka berdandan dan mempercantik diri; tersenyum dan penuh pemuliaan menyambut kepulangan.
Pada cium tangan penuh ta’zhim dan air mata yang haru, bisik mereka mesra, “Berangkatlah menjemput rizqi Allah suamiku tersayang; ketahuilah bahwa kami lebih sabar dalam berlapar daripada harus menanggung ‘adzab yang besar!”
Sumber : FB Salim Afilah