Minggu, 09 Juli 2017

Guruku Idolaku, Guruku Teladanku



Syamsuddin Arfah

Enam hari setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, yang menyebabkan Jepang menyerah tanpa syarat pada perang Dunia II (1942-1945), Kaisar Hirohito bertahta (1926-1989) berupaya membangun kembali bangsanya yang sudah porak-poranda itu. Ia memerintahkan menteri Pendidikannya untuk menghitung jumlah guru yang tinggal dan masih hidup. Ada yang menyebutkan bahwa jumlah guru yang masih hidup saat itu sebanyak 45.000 orang. Sejak saat itu, Kaisar Hirohito geriliya mendatangi para guru yang tinggal itu dan memberi perintah juga arahan.

Dr. Ulil Amri Syafrii (salah seorang dosen Pasca Sarjana Universitas Ibnu Khaldun di Bogor, yang juga dosen saya) mengutip dalam tulisannya tentang pendidikan di Jepang, bahwa salah seseorang guru di Jepang pernah berkata, “kami tidak terlalu khawatir anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pantai mengatri.” Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan:

Pertama, “kita hanya perlu melatih anak 3 bulan saja secara intensif untuk bisa matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran dibalik proses mengantri”.

Kedua, karena tidak semua anak kelak menggunakan ilmu matematika kecuali ilmu TAMBAH, KALI, KURANG dan BAGI. Lagi pula sebagian mereka anak jadi penari, atlit, musisi, pelukis, dsb.

Ketiga, semua murid sekolah pasti lebih membutuhkan pelajaran Etika Moral dan berbagai dengan orang lain saat dewasa kelak.

Ulil Amri melanjutkan dalam tulisannya tersebut bahwa “Apa yang menjadi perhatian dunia pendidikan tingkat dasar di negeri tersebut bisa menjadi hal baru atau aneh bagi dunia pendidikan dasar di negeri lain. Sebut saja di Indonesia, meskipun tidak bisa digeneralisasi, tapi setidaknya apa yang berkembang pada masyarakat dan terjadi dalam pergaulan anak dimasyarakat bisa memperlihatkan andil dunia pendidikan dalam pembentukan karakter anak-anak”.

Salah seorang guru berkebangsaan Australia, memberikan alasan tentang pembentukan karakter dari budaya antri: 1. Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal. 2. Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama jika ia di antrian paling belakang 3. Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting. Dan lain-lain.

Profesor Ahmad Tafsir guru besar di Universitas Ibnu Khaldun yang juga pakar pendidikan Islam, sekaligus dosen saya pernah menyampaikan: “inti (core) pendidikan adalah akhlak mulia’. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa pembinaan akal dan keterampilan itu sangat gampang bila anak didik berakhlak mulia. Dan orang yang tidak berakhlak mulia adalah orang yang gagal menjadi manusia. Dengan demikian, lembaga pendidikan yang mengutamakan kepintaran saja tanpa memprioritas pembinaan mental, etika, atau akhlak mulia bisa dikatakan bahwa lembaga itu turut bertanggung jawab membuat anak didiknya gagal menjadi manusia. Akhirnya, sekolah yang tidak memberi perhatian lebih pada aspek etika dan akhlak Mulia, tentu dalam perkembangannya tidak akan mendapat kepercayaan maksimal dari masyarakat, apapun status sekolahnya. Baik itu sekolah negeri ataupun swasta, mahal maupun murah, demikian pula pada lembaga pendidikan berbeasiswa ataupun non beasiswa”.

Komponen pendidikan adalah bagian dari system proses pendiddikan yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan, salah satu komponen serta instrument penting dalam proses pendidikan adalah guru atau pendidik yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi, yang secara professional bertugas merencanakan dan melaksanakan prosses pembelajaran.

Ulil Amri juga mengatakan: “Guru adalah asset dan icon terpenting dalam proses pendidikan, atau jika bisa dikatakan sebagai ‘modal’ termahal dalam kegiatan pendidikan. Bila suatu lembaga pendidikan tidak menempatkan guru demikian, maka lembaga pendidikan tersebut sebenarnya tidak bicara pendidikan yang sesingguhnya. Sebab sehebat apapun konsep pendidikan yang dimiliki suatu lembaga, bila tidak didukung Guru yang sesuai, maka konsep hebat tidak ada artinya dalam proses pendidikan yang berjalan.”

Tingginya kedudukan guru dalam Islam, menurut Ahmad Tafsir, tak bisa dilepaskan dari pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan bersumber pada Allah, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat :32

“Mereka menjawab: “Maha suci engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya engkau Maha Mengetahui (lagi) Maha bijaksana”.

Karena ilmu berasal dari Allah, maka guru pertama adalah Allah. Pandangan demikian melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah. Ilmu tidak terpisah dari guru. Dengan demikian, kedudukan guru dalam Islam sangat tinggi.

 Alasan lain mengapa guru mendapat kedudukan mulia dalam Islam adalah terkait kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim. Proses menuntut ilmu berlangsung dibawah bimbingan guru. Tanpa guru, sulit rasanya peserta didik bisa memperoleh ilmu secara baik dan benar. Itulah sebabnya, kedudukan guru sangat istimewa dalam Islam. Bahkan dalam tradisi tasawwuf/tarekat, dikenal ungkapan, “siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan”. Walaupun ungkapan ini sangat bisa dibantah.

Guru merupakan pewaris tradisi kerja kenabian karena guru itu harus mengajar, mendidik, membina dan memberi tauladan. Pada diri gurulah sebagian ilmu dan pengetahuan itu tersimpan. Maka dalam filsafat Islam disebutkan, bahwa meninggalnya seorang  berilmu mendalam berarti hilangnya sevudang ilmu yang sulit tergantikan.

Abd al-Rahman al-Nahlawi dalam kajian studi klasik menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh guru, diantaranya yaitu: 1. Bersifar rabbani, yaitu semua aktifitas gerak, langkah, ucapan harus sejalan dengan nilai ilahiyah. 2. Ikhlas (agar transformasi ilmu bisa sampai ke hati). 3. Kekuatan ruhiyah (spiritual) yang dibangun dari seorang guru kepada Allah (disini merupakan inti dari keteladanan) 4. Dan lain-lain.

Dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia menurut Ahmad Tafsir tidak  membangun hubungan antara peserta didik dan guru dalam untung dan rugi, tapi disana ada hubungan keagamaan yang disebutnya nilai kelangitan, yang tentunya amat berbeda dengan yang berlaku di dunia barat, Di Barat, hubungan tidak ada nilai kelangitannya, hanya seperti hubungan antara orang yang lebih banyak pengetahuan dengan anak didik yang membutuhkan dan sedikit ilmu pengetahuannya. Hubungannya juga seperti pemberi dan penerima, bahkan terkadang sampai pada tingkat pemberi jasa dan pembayar jasa. Maka hitunggan dan akad ekonominya sangat menonjol. Hal ini tentunya sangat kering dari nilai kelangitan. Maka, cara pandang dalam membangun hubungan sebuah proses pendidikan terhadap guru dan posisi guru itu sendiri sangat berpengaruh dalam proses implementasi pendidikan, yang tentunya juga mempengaruhi hasil didikannya.

“Guru kencing berdiri murid kencing berlari.” Pepatah dan pribahasa ini menuntut adanya keteladanan dari orang yang dihormati: guru, dosen,professor, dan lain-lain. Mundurnya karakter kita karena orang-orang yang diteladani tidak bisa dijadikan contoh dan teladan lagi.”

Dengan ilustrasi yang sama, seorang guru kencing sembarang sambil berdiri dan terlihat oleh 5 orang muridnya. 5 orang murid tersebut akhirnya kencing sambil berlari dan kemudian terlihat oleh anak-anak yang bukan murid. Efek ganda akan bergulir ibarat bola salju membentuk lingkungan yang kencing berdiri.

 Dosa kencing berdiri mungkin kecil tetapi kalau dilakukan oleh seorang guru akan menjadi dosa besar. Guru tersebut akan menanggung dosa-dosa murid atau orang-orang yang kencing berlari.

Oleh karenanya Ulil Amri, berpendapat: “Saat semakin baik cara pandang lembaga dan stake-holder lembaga pendidikan terhadap guru, kualitas guru, dan eksitensinya, maka hal itu merupakan upaya meningkatkan mutu pendidikan dan prosesnya. Demikian pula sebaliknya bila rendah dan buruk cara pandang kepada guru, tentunya berimbas pada rendahnya kualitas proses pendidikan”.

Maka,terkait dengan budaya antri yang lebih diutamakan dari pada pelajaran matematika pada kasus guru di jepang tersebut,tentunya sudah bisa dipahami bahwa pembangunan karakter pada anak didik sangat membutuhkan pendekatan pembiasaan dan keteladanan langsung secara terus menerus. Siapa pun dia, guru atau orang tua, keduanya dapar banyak memberi pengaruh positif kepada anak didik.

Mengharapkan anak didik memiliki karakter, adab, maupun akhlak mulia tanpa membicarakan siapa dan bagaimana gurunya, maka sampai kapanpun harapan itu hanyalah mimpi. Konsep tentu penting, tapi membahas implementasi konsep jauh lebih penting. Dalam proses pendidikan, sebaik dan sehebat apapun konsepnya jika tidak serius membicarakan guru-guru yang menjadi bagian penting dalam proses tersebut, maka upaya itu masih sebatas gagasan. Sedangkan kompetensi lulusan ataupun hasil pendidikan sangat berkaitan dengan praktek dilapangannya. Oleh Karena itu, penanaman nilai pada anak didik menjaci sejalan dengan slogan ‘guruku teladanku’.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar