Syamsuddin Arfah
Enam hari setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada
1945, yang menyebabkan Jepang menyerah tanpa syarat pada perang Dunia II
(1942-1945), Kaisar Hirohito bertahta (1926-1989) berupaya membangun kembali
bangsanya yang sudah porak-poranda itu. Ia memerintahkan menteri Pendidikannya
untuk menghitung jumlah guru yang tinggal dan masih hidup. Ada yang menyebutkan
bahwa jumlah guru yang masih hidup saat itu sebanyak 45.000 orang. Sejak saat
itu, Kaisar Hirohito geriliya mendatangi para guru yang tinggal itu dan memberi
perintah juga arahan.
Dr. Ulil Amri Syafrii (salah seorang dosen Pasca Sarjana Universitas
Ibnu Khaldun di Bogor, yang juga dosen saya) mengutip dalam tulisannya tentang
pendidikan di Jepang, bahwa salah seseorang guru di Jepang pernah berkata,
“kami tidak terlalu khawatir anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai
Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pantai mengatri.”
Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan:
Pertama, “kita hanya perlu melatih anak 3 bulan saja secara intensif
untuk bisa matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 tahun atau
lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran dibalik proses
mengantri”.
Kedua, karena tidak semua anak kelak menggunakan ilmu matematika
kecuali ilmu TAMBAH, KALI, KURANG dan BAGI. Lagi pula sebagian mereka anak jadi
penari, atlit, musisi, pelukis, dsb.
Ketiga, semua murid sekolah pasti lebih membutuhkan pelajaran Etika
Moral dan berbagai dengan orang lain saat dewasa kelak.
Ulil Amri melanjutkan dalam tulisannya tersebut bahwa “Apa yang
menjadi perhatian dunia pendidikan tingkat dasar di negeri tersebut bisa
menjadi hal baru atau aneh bagi dunia pendidikan dasar di negeri lain. Sebut
saja di Indonesia, meskipun tidak bisa digeneralisasi, tapi setidaknya apa yang
berkembang pada masyarakat dan terjadi dalam pergaulan anak dimasyarakat bisa
memperlihatkan andil dunia pendidikan dalam pembentukan karakter anak-anak”.
Salah seorang guru berkebangsaan Australia, memberikan alasan tentang
pembentukan karakter dari budaya antri: 1. Anak belajar manajemen waktu jika
ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal. 2.
Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama jika ia di antrian
paling belakang 3. Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih
awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting. Dan
lain-lain.
Profesor Ahmad Tafsir guru besar di Universitas Ibnu Khaldun yang juga
pakar pendidikan Islam, sekaligus dosen saya pernah menyampaikan: “inti (core)
pendidikan adalah akhlak mulia’. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa pembinaan
akal dan keterampilan itu sangat gampang bila anak didik berakhlak mulia. Dan
orang yang tidak berakhlak mulia adalah orang yang gagal menjadi manusia.
Dengan demikian, lembaga pendidikan yang mengutamakan kepintaran saja tanpa
memprioritas pembinaan mental, etika, atau akhlak mulia bisa dikatakan bahwa
lembaga itu turut bertanggung jawab membuat anak didiknya gagal menjadi
manusia. Akhirnya, sekolah yang tidak memberi perhatian lebih pada aspek etika
dan akhlak Mulia, tentu dalam perkembangannya tidak akan mendapat kepercayaan
maksimal dari masyarakat, apapun status sekolahnya. Baik itu sekolah negeri
ataupun swasta, mahal maupun murah, demikian pula pada lembaga pendidikan
berbeasiswa ataupun non beasiswa”.
Komponen pendidikan adalah bagian dari system proses pendiddikan yang
menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan, salah
satu komponen serta instrument penting dalam proses pendidikan adalah guru atau
pendidik yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat
kemanusiaan yang lebih tinggi, yang secara professional bertugas merencanakan
dan melaksanakan prosses pembelajaran.
Ulil Amri juga mengatakan: “Guru adalah asset dan icon terpenting
dalam proses pendidikan, atau jika bisa dikatakan sebagai ‘modal’ termahal
dalam kegiatan pendidikan. Bila suatu lembaga pendidikan tidak menempatkan guru
demikian, maka lembaga pendidikan tersebut sebenarnya tidak bicara pendidikan
yang sesingguhnya. Sebab sehebat apapun konsep pendidikan yang dimiliki suatu
lembaga, bila tidak didukung Guru yang sesuai, maka konsep hebat tidak ada
artinya dalam proses pendidikan yang berjalan.”
Tingginya kedudukan guru dalam Islam, menurut Ahmad Tafsir, tak bisa
dilepaskan dari pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan
bersumber pada Allah, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat :32
“Mereka menjawab: “Maha suci engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami
selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya engkau Maha
Mengetahui (lagi) Maha bijaksana”.
Karena ilmu berasal dari Allah, maka guru pertama adalah Allah.
Pandangan demikian melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak
terpisah dari Allah. Ilmu tidak terpisah dari guru. Dengan demikian, kedudukan
guru dalam Islam sangat tinggi.
Alasan lain mengapa guru
mendapat kedudukan mulia dalam Islam adalah terkait kewajiban menuntut ilmu
bagi setiap muslim. Proses menuntut ilmu berlangsung dibawah bimbingan guru.
Tanpa guru, sulit rasanya peserta didik bisa memperoleh ilmu secara baik dan
benar. Itulah sebabnya, kedudukan guru sangat istimewa dalam Islam. Bahkan
dalam tradisi tasawwuf/tarekat, dikenal ungkapan, “siapa yang belajar tanpa
guru, maka gurunya adalah setan”. Walaupun ungkapan ini sangat bisa dibantah.
Guru merupakan pewaris tradisi kerja kenabian karena guru itu harus
mengajar, mendidik, membina dan memberi tauladan. Pada diri gurulah sebagian
ilmu dan pengetahuan itu tersimpan. Maka dalam filsafat Islam disebutkan, bahwa
meninggalnya seorang berilmu mendalam
berarti hilangnya sevudang ilmu yang sulit tergantikan.
Abd al-Rahman al-Nahlawi dalam kajian studi klasik menyebutkan
beberapa sifat yang harus dimiliki oleh guru, diantaranya yaitu: 1. Bersifar
rabbani, yaitu semua aktifitas gerak, langkah, ucapan harus sejalan dengan
nilai ilahiyah. 2. Ikhlas (agar transformasi ilmu bisa sampai ke hati). 3.
Kekuatan ruhiyah (spiritual) yang dibangun dari seorang guru kepada Allah
(disini merupakan inti dari keteladanan) 4. Dan lain-lain.
Dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia menurut Ahmad Tafsir
tidak membangun hubungan antara peserta
didik dan guru dalam untung dan rugi, tapi disana ada hubungan keagamaan yang
disebutnya nilai kelangitan, yang tentunya amat berbeda dengan yang berlaku di
dunia barat, Di Barat, hubungan tidak ada nilai kelangitannya, hanya seperti hubungan
antara orang yang lebih banyak pengetahuan dengan anak didik yang membutuhkan
dan sedikit ilmu pengetahuannya. Hubungannya juga seperti pemberi dan penerima,
bahkan terkadang sampai pada tingkat pemberi jasa dan pembayar jasa. Maka
hitunggan dan akad ekonominya sangat menonjol. Hal ini tentunya sangat kering
dari nilai kelangitan. Maka, cara pandang dalam membangun hubungan sebuah
proses pendidikan terhadap guru dan posisi guru itu sendiri sangat berpengaruh
dalam proses implementasi pendidikan, yang tentunya juga mempengaruhi hasil
didikannya.
“Guru kencing berdiri murid kencing berlari.” Pepatah dan pribahasa
ini menuntut adanya keteladanan dari orang yang dihormati: guru,
dosen,professor, dan lain-lain. Mundurnya karakter kita karena orang-orang yang
diteladani tidak bisa dijadikan contoh dan teladan lagi.”
Dengan ilustrasi yang sama, seorang guru kencing sembarang sambil
berdiri dan terlihat oleh 5 orang muridnya. 5 orang murid tersebut akhirnya
kencing sambil berlari dan kemudian terlihat oleh anak-anak yang bukan murid.
Efek ganda akan bergulir ibarat bola salju membentuk lingkungan yang kencing
berdiri.
Dosa kencing berdiri mungkin
kecil tetapi kalau dilakukan oleh seorang guru akan menjadi dosa besar. Guru
tersebut akan menanggung dosa-dosa murid atau orang-orang yang kencing berlari.
Oleh karenanya Ulil Amri, berpendapat: “Saat semakin baik cara pandang
lembaga dan stake-holder lembaga pendidikan terhadap guru, kualitas guru, dan
eksitensinya, maka hal itu merupakan upaya meningkatkan mutu pendidikan dan
prosesnya. Demikian pula sebaliknya bila rendah dan buruk cara pandang kepada
guru, tentunya berimbas pada rendahnya kualitas proses pendidikan”.
Maka,terkait dengan budaya antri yang lebih diutamakan dari pada
pelajaran matematika pada kasus guru di jepang tersebut,tentunya sudah bisa
dipahami bahwa pembangunan karakter pada anak didik sangat membutuhkan
pendekatan pembiasaan dan keteladanan langsung secara terus menerus. Siapa pun
dia, guru atau orang tua, keduanya dapar banyak memberi pengaruh positif kepada
anak didik.
Mengharapkan anak didik memiliki karakter, adab, maupun akhlak mulia
tanpa membicarakan siapa dan bagaimana gurunya, maka sampai kapanpun harapan
itu hanyalah mimpi. Konsep tentu penting, tapi membahas implementasi konsep
jauh lebih penting. Dalam proses pendidikan, sebaik dan sehebat apapun
konsepnya jika tidak serius membicarakan guru-guru yang menjadi bagian penting
dalam proses tersebut, maka upaya itu masih sebatas gagasan. Sedangkan
kompetensi lulusan ataupun hasil pendidikan sangat berkaitan dengan praktek
dilapangannya. Oleh Karena itu, penanaman nilai pada anak didik menjaci sejalan
dengan slogan ‘guruku teladanku’.