by.Syamsuddin
Arfah
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai manusia, kami
telah diberi pengertian tentang burung dan kami diberi segala sesuatu.
Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata”. (An-Naml :16)
Ayat diatas menceritakan tentang Nabi Sulaiman yang memiliki kerajaan
dan kekuasaan yang luas disertakan bala tentara dari manusia, jin dan
burung-burung. Sebelumnya Allah menawarkan kepada Sulaiman tiga tawaran:
pertama, kerajaan dan kekuasaan kedua, harta dan kekayaan dan ketiga, ilmu.
Dari tiga tawaran yang Allah berikan, Nabi Sulaiman memilih ilmu dan tentunya
ilmu selain pilihan yang tepat juga beralasan, karena apalah artinya kerajaan
dan kekuasaan jika tidak berilmu maka orang lain yang akan mengatur dan
mengintervensi kerajaan dan kekuasaannya, begitu juga dengan harta dan kekayaan
jika tanpa ilmu akan dibodohi dan ditipu orang, tetapi dengan ilmu kerajaan
bisa diperoleh serta harta dan kekayaan bisa dicapai.
Berbicara tentang ilmu dan pendidikan sesungguhnya berbicara tentang
peradaban, karena ciri peradaban maju adalah memiliki pendidikan dan tekhnologi
yang tinggi, jika pendidikan itu tinggi menunjukan masyarakatnya sejahtera,
karena tingginya tingkat pendidikan adalah indikasi dari tingginya tingkat
kesejahteraan.
Islam pernah mencapai peradaban yang cukup tinggi dalam bidang sains
dan tekhnologi, jika kita kembali menengok kepada masa lalu disaat dinasti
kerajaan-kerajaan Islam masih menguasai kawasan Eropa, Asia Tengah, dan Afrika,
di mana saat itu kaum muslim justru menjadi role model penemuan sejumlah
teknologi maupun pemikiran yang kemudian menjadi dasar-dasar pengembangan
teknologi selanjutnya. Para ilmuwan muslim jutru menjadi pelopor, bukan hanya
menjadi pemakai pasif. Kejayaan para ilmuwan muslim itu terjadi ketika Eropa
sedang dilanda dengan apa yang dinamakan ‘abad kegelapan’ (dark ages), yaitu
dimulai sejak jatuhnya kekaisaran Romawi terakhir, Romulus Augustus, yang
diberhentikan Odoacer pada 4 September 476M. Di masa dark ages itu Eropa
sebenarnya memiliki sejumlah ilmuwan, cendekiawan, sastrawan, dan sosok-sosok
yang berkompetensi dalam bidangnya. Hanya saja, dominasi serta campurtangan
otoritas keagamaan membuat mereka terkungkung sehingga kalah maju dengan para
pakar muslim yang mendapatkan kesempatan penuh dari para khalifah yang
berkuasa. Kita tidak perlu larut dan hanyut
dengan bernostalgia dari memori masa lalu, lebih baik bangkit, menata dan memperbaiki kembali pendidikan
kita.
Saya ingin masuk pada kondisi
kekinian, saat ini pemerintah Kota Tarakan bersama Dinas Pendidikan
dan sekolah-sekolah sedang disibukkan
dengan penerimaan siswa baru, penerimaan siswa baru adalah bagaikan “musim”
yang datang setiap tahun, sejak diterapkan PPDB (Paparan Penerimaan Siswa Baru)
dengan system online 1-2 tahun yang lalu dengan cara transparan tentunya dapat
dipantau disemua lapisan masyarakat. Dengan system online tentu lebih feer.
Pejabat-pejabat daerah baik pejabat karir maupun pejabat politik ( Walikota dan
Wakilnya serta DPRD) menjadi “tidak” kebanjiran order “titipan” yang datangnya
dari masyarakat dan orang tua siswa agar memasukan anaknya kesekolah-sekolah
negeri, ada juga yang ingin dimasukan disekolah pavorit.
Masyarakat atau orang tua siswa memahami bahwa system online
meminimalkan celah untuk bisa memasukan siswa lewat jalur belakang, tetapi
bukan berarti tidak-ada yang tidak datang lagi, ada orang tua siswa yang tetap
berharap peran serta para pejabat politis ini untuk bisa menggiring agar anak
atau siswa bisa masuk disekolah negeri. Yang menjadi ironi adalah, kerika
beberapa diantara mereka yang datang secara ekonomi tidak beruntung, kerja
terkadang serabutan, tetapi tidak memiliki kartu Gakin (keluarga miskin), nilai
kelulusan anaknya juga rendah, tetapi keinginan untuk mengincar sekolah negeri,
dengan alasan jika sekolah swasta pembayaran tidak gratis, dan uang muka untuk
tingkat level ekonomi mereka teramasuk kategori “mahal”.
Para pejabat politik termasuk DPRD terkadang berperan seperti “kartu
joker” atau “kunci inggris” semua harus bisa diselesaikan demi kepentingan
konstituen. Ironis emank banyak anak-anak pinggiran tinggal di daerah padat,
orang tua berpenghasilan pas-pasan kalah bersaing untuk masuk sekolah negeri
dengan orang tua mereka yang lebih mapan penghasilannya, alasannya klasik
mereka terlalu difocuskan dengan mencari uang, sehingga tidak ada waktu untuk
memperhatikan pendidikan anak, disamping itu juga mereka tidak ada dana untuk
mengikutkan les atau privat tambahan.
Timbul pertanyaan apakah ada dikotomi terhadap pendidikan, bukankah
semua anak negeri wajib untuk mengenyam pendidikan, mereka adalah aset bangsa,
mereka adalah calon pemimpin akan datang, mereka hari ini adalah peradaban kita
masa depan. Bukankah Negara wajib membiayai mereka?
Pendidikan merupakan pembangunan manusia seutuhnya secara harmonis dan
seimbang. Karena itu pendidikan nasional merupakan infrastruktur pengembangan
SDM untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD
1954. Menurut pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warga Negara berhak
memperoleh pendidikan. Kemudian pasal 31, ayat 2 menyatakan bahwa setiap warga
Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainnya.
Pada hari rabu, tanggal 05 Juli 2017 bertempat di kantor DPRD,
diadakan public hearing antara DPRD Komisi II yang membidangi pendidikan,
Pemerintah Kota bersama Dinas Pendidikan dan sebagian perwakilan orang tua
siswa. Ada beberapa hal yang menjadi catatan dan analisa saya terkait dinamika
problematika pendidikan serta penerimaan siswa baru, walaupun tidak secara
detail, tetapi beberapa hal yang bersifat global akan saya tuangkan melalui
tulisan ini:
1.
Lemahnya culture pendidikan, mindset pendidikan
disebagian besar masyarakat masih kurang, cara pandang bahwa pendidikan itu
penting belum masuk dalam benak dan pikiran masyarakat, ini berdampak terhadap
orang tua siswa yang sekedar hanya menyekolahkan anaknya saja, tanpa ada
kontrol, serta evaluasi dari orang tua ketika siswa sudah berada dirumah.
2.
Laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya
dikisaran 2-3% dari jumlah total
penduduk Kota Tarakan saat ini 250.000 jiwa. Dan imigrasi dari daerah lain yang
berdatangan ke Kota Tarakan, ditambah untuk wilayah Kalimantan utara, Tarakan
menjadi destinasi pendidikan. Mari kita analisa data lulusan SD 2016/2017 =
4.071, Kuota SMP/MTS Negeri = 3.356 dan Kuota SMP/MTS Swasta = 1.164 jumlah
Kuota keseluruhan ketika digabung negeri dan swasta = 4.520. Berdasarkan pada
data ini jika keinginan orang tua untuk memasukan anaknya kesekolah negeri
tentu kuota itu sangat tidak cukup, laju pertumbuhan penduduk tidak berbanding
lurus dengan sekolah-sekolah tingkat lanjutan yang bisa menampung para siswa
yang berkeinginan untuk bersekolah di sekolah negeri (sekolah negeri minded).
Jika plan pembangunan sekolah tidak berjalan dengan baik bisa dipastikan
problema penerimaan siswa baru akan berlanjut disetiap tahunnya.
3.
Moratorium penerimaan Guru Negeri belum dicabut
semenjak 2 tahun yang lalu, ini menyebabkan terjadi kekurangan guru, belum lagi
para guru setiap tahunnya dipastikan ada yang pensiun, ada yang meninggal,
bahkkan ada yang cacat dan sakit. Menambah lokal baru menjadi problem sendiri,
walau dibeberapa sekolah masih ada yang tersedia ruang belajar yang kosong,
darimana penambahan guru-gurunya yang mengajar?, merekrut guru-guru honorer
juga menjadi kesulitan tersendiri, mengapa? Karena APBD juga dalam kondisi yang
minim untuk operasional pendidikan,
mengandalkan dana BOS (biaya operasional sekolah) tentu ada aturannya,
dimana penggunaan dana BOS dari APBN tidak
lebih dari 15% untuk operasional.
4.
Pendataan keluarga miskin untuk mendapatkan
kartu Gakin masih belum valid, subyektivitas RT dalam mendata serta memberi
dengan kriteria yang ada sebagai keluarga yang layak untuk mendapatkan kartu
Gakin masih perlu uji kelayakan dimasyarakat. Masih ditemukan yang tidak layak
kategori miskin tetapi mendapat kartu Gakin, sedang ada yang termasuk kategori
miskin tetapi tidak terdata, walaupun Kuota masyarakat miskin untuk setiap
sekolah diberikan sebesar 25%.
5. Dan
lain-lain.
Berdasarkan pada analisa tadi, beberapa hal urgent untuk menjadi
perhatian oleh pemerintah, pemerhati pendidikan, stakeholder pendidikan,
akademisi, dan seterusnya, sebagai berikut:
1. Membangun
culture pendidikan, menjadikan paradigma masyarakat terhadap pendidikan itu
penting, memprioritaskan pendidikan dalam pembangunan masyarakat. Kita semua
paham untuk membangun budaya pendidikan tentunya memakan waktu yang tidak
sebentar, promosi serta pemahaman “arti penting pendidikan” yang terus menerus.
Dan jika budaya pendidikan mengakar dipastikan kemajuan daerah kedepannya akan
berkembang pesat. Perhatian pemerintah untuk membangun budaya pendidikan harus
linear dan bersinergi dengan membangun ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,
memerangi dan mengentaskan kemiskinan, serta meminimalkan pengangguran dan juga
membuka lapangan pekerjaan.
2. Plan
(perencanaan) pembangunan sekolah yang berbasis kecamatan harus segera
dijalankan, agar laju pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan pembangunan
sekolah.
3. Merekrut
tenaga pendidikan yang handal agar kompetensi tenaga pendidikan bisa diandalkan
, baik guru dan lain sebagainya, dan juga agar rasio siswa dan guru serta ruang
belajar menjadi seimbang.
4.
Pendataan keluarga miskin dilakukan secara
kriteria yang valid dan obyektif, serta memastikan agar tidak ada orang miskin
yang tidak menerima kartu Gakin.
Lalu dimana peran swasta dalam
mencerdaskan anak bangsa? Yayasan pendidikan swasta diminta berpartisipasi
dalam mencerdaskan anak bangsa tetapi yang harus dipikirkan oleh pelaku
pendidikan (termasuk yayasan dan pengelolah sekolah swasta) adalah kualitas dan
mutu pendidikan, tidak ada kata lain kecuali mutu out put harus tercapai. Bila
mutu out put tercapai berdampak terhadap tingkat kepercayaan masyarakat.
Beberapa waktu yang lalu juga dikembangkan “Total Quality Manajemen In
Educatioan” (manajemen mutu terpadu dalam pendidikan). Ibarat menu masakan
memberikan tawaran dan alternative lain kepada pelanggan (masyarakat), selain
dari sekolah negeri ada sekolah swasta yang tidak kalah kualitasnya, mutunya
serta alternatif konsep model pendidikan berbeda yang ditawarkan dengan
spesifikasi serta keunggulan yang berbeda, seharusnya inilah idealnya.
Berdasarkan data yang saya terima untuk lulusan SD dengan nilai tertinggi
dan terbaik untuk peringkat 1 dan 2 dipegang oleh swasta (Sekolah SD Indo
Tionghoa dan SDIT Ulul Albab). Untuk tingkat SMP dengan nilai tertinggi dan
terbaik juga masih di pegang oleh swasta, yaitu : Indo Tionghoa, Tunas Kasih,
SMP Neg.1 dan SMPIT Ulul Albab. Ini berarti kualitas sekolah swasta dan sekolah
negeri menjadi berimbang, bahkan disekolah swasta saat ini menjadi destinasi
orangtua untuk memasukan anaknya ke sekolah tersebut, bahkan informasi yang
didapatkan sekolah-sekolah swasta tersebut menolak siswa karena melebihi dari
kuota kelas yang tersedia. Harapan kita agar sekolah swasta yang lain
mengembangkan diri untuk meningkatkan kualitas sekolahnya.
Memang jika mambahas pendidikan, panjang dan luas tentu di forum
“opini dan artikel” ini tidak cukup tuntas untuk membahas secara detail dan
rinci, tetapi menurut hemat saya ada beberapa hal yang perlu kita benahi,
komitmen politik Pemerintah dan DPRD belum cukup kuat padahal ini menjadi
penentu terhadap kebijakan regulasi dan kebijakan buggeting, birokrasi dan
manajerial yang tidak efektif contoh: penentuan beasiswa miskin terkadang
penyalurannya tidak tepat sasaran, bahkan indicator keluarga dan siswa miskin
terlalu banyak sehingga bingung dalam penerapan dilapangan serta indicator mana
yang harus dipakai, sosial-kultur juga menjadi persoalan sendiri, dimana masih
kurang kesadaran dari masyarakat terhadap arti penting pendidikan sehingga
mempengaruhi terhadap perhatiannya terhadap pendidikan (sibuk pada penerimaan
siswa baru, inginnya masuk sekolah negeri yang bermutu tetapi tidak mau
mengikuti pada proses pendidikan anak), terakhir factor ekonomi, jika ekonomi
masyarakat baik, pendapatan masyarakat meningkat tentu beberapa persoalan
diatas bisa diminimalkan.
Allahu a’lamu bis-shawab